Jumat, 26 Desember 2008

Coblos Gambar Parpol

Coblos Gambar Parpol

bukan untuk Caleg

Implikasi Keputusan MK


JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan suara terbanyak untuk menentukan calon legislatif (caleg) terpilih membawa implikasi besar dalam persoalan teknis. Salah satunya, mekanisme penyaluran suara dari pemilih yang menandai tanda gambar parpol.

Menurut Ketua KPU (Komisi Pemilihan Umum) Abdul Hafiz Ansyari, suara yang menandai tanda gambar partai itu tidak akan dikompensasikan ke nomor urut teratas. Suara tersebut bertujuan menentukan jumlah kursi yang diperoleh parpol itu.

Setelah jumlah kursi ditetapkan, calon terpilih ditentukan dari caleg yang meraih suara terbanyak. Bila partai A mendapat dua kursi di dapil tersebut, maka kursi itu akan ditempati caleg yang memperoleh suara terbanyak nomor satu dan dua, tanpa memperhatikan nomor urut.

Sebelumnya, dalam aturan nomor urut, suara pemilih yang menandai parpol akan dilimpahkan ke nomor teratas. Nomor bawah bisa jadi apabila dia mampu meraih suara 30 persen dari BPP (bilangan pembagi pemilih). Tapi, setelah putusan MK, peraih suara terbanyak akan langsung terpilih bila partainya mendapat kursi.

Hafiz menyatakan, KPU tengah merumuskan perubahan aturan teknis tata cara penetapan calon legislatif terpilih tersebut. ”Sesegera mungkin diselesaikan dan disosialisasikan,” ujar Hafiz kepada wartawan di Kantor KPU Jakarta, kemarin (24/12).

Menurut Hafiz, dalam penentuan kursi, berdasarkan pasal 202 UU Pemilu, partai yang berhak lolos ke parlemen nanti adalah mereka yang sekurang-kurangnya mendapatkan 2,5 persen suara secara nasional. Partai mencapai limit itulah yang akan mendapat kursi. ”Baru nanti penentuan jumlah kursi dengan melihat suara terbanyak di setiap dapil,” terangnya.

Meski begitu, ada ketentuan yang masih mengganjal terkait mekanisme suara terbanyak. Yaitu, jika dalam satu partai, ada dua caleg dengan perolehan suara sama banyak. Padahal, partai tersebut hanya memiliki kuota satu kursi.

Menurut Hafiz, ketentuan tersebut belum diplenokan dalam satu kursi. Namun, ada salah satu celah untuk menentukannya. Suara calon terpilih ditentukan dengan metode sebaran. Yakni, KPU nanti akan melihat jumlah sebaran TPS atau wilayah yang dimiliki calon tersebut. ”Yang raihan TPS-nya paling banyak, itu nanti yang terpilih,” ujar Hafiz.

Dia menambahkan, dengan aturan suara terbanyak, potensi gugatan akan jauh menurun dibandingkan dengan saat menggunakan persentase bilangan pembagi pemilih (BPP) 30 persen seperti sebelumnya. Namun, potensi itu tetap ada, terutama saat penentuan parpol yang lolos ke parlemen nanti. ”Tapi, semoga tidak ada lah,” tandasnya.

Secara umum, perubahan sistem penentuan caleg terpilih itu memang akan lebih meringankan kerja KPU. Lembaga penyelenggara pemilu itu tidak repot-repot lagi menyaring caleg yang lolos 30 persen BPP.

Tapi, menurut Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro) Hadar Navis Gumay, putusan MK tersebut tetap memiliki peluang untuk diakali. Yaitu, apabila di internal parpol tetap ada kesepakatan tentang kuota persentase perolehan suara dalam pembagian jatah kursi legislatif. ”Itu yang pernah dilakukan PAN, Golkar, dan Demokrat sebelum putusan MK,” ujarnya.

Meski masih dalam proses pengadilan dan belum diputus, ketiga partai tersebut telah memastikan akan menggunakan sistem suara terbanyak dalam menentukan caleg yang lolos. Mereka menggunakan surat kesepakatan yang dituangkan dalam surat bermeterai yang wajib ditandatangani para caleg saat mendaftar. ”Nanti bisa sebaliknya,” kata Hadar memperingatkan.

Dia menambahkan, celah lain juga bisa dimanfaatkan parpol. Yaitu, jika ada caleg yang terpaksa harus diganti karena mengundurkan diri, meninggal dunia, atau alasan lainnya. ”Di sini ada ruang yang bisa dimanfaatkan parpol untuk memasukkan caleg yang mereka mau,” ujarnya.

Sebab, menurut dia, ada pasal di UU No 10/2008 Bab XV tentang Penggantian Calon Terpilih, pasal 218 ayat 3, memang memungkinkan hal itu. Di situ disebutkan, calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota bisa diganti dengan calon dari daftar calon tetap parpol pada dapil yang sama berdasarkan surat keputusan pimpinan partai politik bersangkutan.

”Bisa saja nanti ada kesepakatan internal parpol bahwa penentuan caleg untuk pengganti legislator suara terbanyak berdasar nomor urut. Bukan caleg dengan perolehan suara terbanyak di bawah legislator yang diganti,” papar Hadar.

Karena itu, menurut dia, KPU bisa mengantisipasi dengan cara menerbitkan peraturan baru tentang penggantian calon legislator. Di situ bisa ditegaskan bahwa penggantian calon legislator terpilih dan PAW harus tetap berdasar perolehan suara terbanyak.

”Memang, nanti ada parpol yang marah-marah karena memang tugas KPU mematuhi UU, bukan mengatur parpol,” katanya. Tapi, lanjut dia, publik nanti bisa melihat mana parpol yang akal-akalan atau ngotot mempertahankan nomor urut karena ada 'kepentingan' yang terganggu. ”Sebab, putusan MK ini pasti memunculkan gejolak. Misalnya, caleg yang telanjur beli nomor urut puncak pasti tidak akan terima,” tandasnya.


Revisi Terbatas UU Pemilu

Putusan MK direaksi beragam. Parpol, elite parpol, tokoh nasional, pelaksana pemilu (KPU), hingga LSM memberikan respons pro kontra. Ada yang setuju, menolak, atau setuju dengan catatan. Partai Demokrat (PD), misalnya, termasuk yang mendukung putusan MK. Namun, PD juga memberi catatan.

PD meminta putusan MK itu segera direspons DPR. ”Jika mau lebih sempurna, tentu saja putusan MK tersebut harus segera ditindaklanjuti DPR untuk melakukan revisi terbatas,” terang Ketua DPP PD Anas Urbaningrum di Jakarta, kemarin.

Dengan demikian, kata dia, KPU mempunyai acuan yang lazim, yakni UU Pemilu, di dalam menetapkan peraturan KPU tentang penetapan calon terpilih. ”Agak kurang lazim jika payung peraturan KPU langsung dari putusan MK. Yang lazim adalah UU Pemilu,” tegasnya.

Di sisi lain, PDIP mengkritik sistem suara terbanyak itu. ”Patut dipertanyakan apakah MK mempunyai kewenangan untuk menentukan sistem pemilu,” ujar Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) DPR Tjahjo Kumolo di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, kemarin. Menurut dia, UU Pemilu Legislatif dan UU Partai Politik belum menetapkan sistem distrik murni, melainkan proporsional terbuka terbatas.

Tjahjo juga melihat putusan MK telah mencederai prinsip independensi parpol dalam menentukan sistem di internalnya untuk mengajukan caleg terpilih. Dia menjelaskan, ada dua kedaulatan yang perlu dihormati MK dalam menentukan sistem pemilu tersebut. Yakni, kedaulatan rakyat pemilih dan kedaulatan partai dalam menetapkan caleg. ”Seharusnya kedua-duanya dihormati,” ujarnya. (bay/dyn/yun/cak/tof)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar